Saturday 26 May 2018

Dear Jomblo



"Jom(b)lo itu pilihan" demikian kalimat pembelaan mereka yang merasa tidak nyaman atau mungkin kurang sepakat jika jomblo sering disandingkan dengan kata-kata kurang mengenakkan seperti; tidak laku, fakir asmara, kesepian, kosong dan sejumlah statement negatif yang menjudge bahwa jomblo memang bukan sesuatu yang baik. Kadang, saya pun tidak mengerti dengan sejumlah meme komik yang membuli para jomblo. Pun di setiap acara kumpul-kumpul khususnya jika di pesta pernikahan mereka yang masih jomblo kerapkali dijadikan sasaran kalimat; ciee yang jomblo... atau, kapan nyusul-etc... Semenyedihkan itukah seorang jomblo? 

Jomblo itu pilihan, sepenuhnya saya pun menyepakati kalimat ini. Bahwa menjadi jomblo tidak hanya pilihan tapi juga bagian dari prinsip hidup. Ya, saya termasuk seseorang yang menolak tegas aktivitas pacaran sebelum pernikahan. Bukan semata-mata karena pacaran memang tidak ada dalam syariat islam, lebih dari itu saya terlanjur sepakat bahwa pacaran hanya buang-buang tenaga dan boros perasaan untuk sesuatu yang belum tentu berakhir bahagia. So, jomblo itu memang sebuah pilihan sekaligus tantangan. Pilihan bijak juga tantangan yang betul-betul menguji komitmen untuk tidak melanggar sebuah prinsip.

Dear jomblo... Percayalah jika kesendirianmu saat ini adalah pilihan paling tepat. Saat yang lain sibuk pacaran, kita lebih memilih sibuk dalam kebaikan; up grade kualitas diri, belajar, berkarya, memperluas pertemanan, menata hati, memperbaiki akhlak, serta kebaikan-kebaikan lainnya. As you know, setelah masa jomblo berakhir (red; menikah) banyak hal yang tak bisa kita lakukan seperti saat masih jomblo. Kehidupan akan berubah total. Tak perlu pengalaman, cukup dengan melihat langsung sekitar saya. Sebagai anak bungsu (anak mama yang kini satu-satunya masih jomblo) saya menyaksikan sendiri bagaimana kehidupan kakak-kakak saya saat sudah berganti status menjadi istri/suami hingga menjadi seorang ibu/ayah. Betapa sibuk dan merepotkan, mendidikasikan waktu untuk mengurusi tanggungjawab bernama rumah tangga. Berat!

So, jika sekarang masih sendiri bersabar saja dan bersyukur. Jangan pernah berpikir untuk segera menikah hanya karena alasan lelah menjomblo, tidak kuat lagi dengan segala cibiran, iri melihat mereka yang sudah memiliki pasangan-etc. Jadikan kesendirian saat ini sebagai fase untuk merencanakan atau pun mempersiapkan diri; agar nanti kita bisa menjadi orang tua yang layak. Orang tua yang patut dijadikan tauladan dan dibanggakan anak-anaknya. Semuanya memang harus dipersiapkan sebab pernikahan adalah titik kritis yang membutuhkan ilmu yang memadai, mental yang cukup, kecerdasan intelektual, sosial hingga kecerdasan mengatur emosi. Tidak mudah bukan? Ada beban tanggungjawab yang tentu butuh effort besar lebih dari sekadar menyatukan visi misi, isi kepala yang beda pemikiran, ego yang kadang enggan mengalah, dan seterusnya. Sendiri mungkin berat tapi bersama bisa jadi lebih berat lagi. Ehh, gak kebalik? Wkwk...

Terakhir, letakkan segala risau perihal masa depan, sebab semuanya masih tanda tanya dalam genggaman kuasa-Nya. Kalem aja, toh yang pasti itu kematian bukan jodoh, right? Yuk, persiapkan diri sebaik mungkin!

(Fyi, jomlo: penulisan baku berdasarkan kbbi, tapi tetap saja saya lebih suka nulis versi salahnya, haha)

--Gowa, 10 Ramadan