Monday 14 May 2018

Catatan Tentang Kakak Perempuanku



Flashback ramadan tahun lalu... 

Aku tengah menuliskan sesuatu saat ia datang mengetuk pintu kamarku. Fokusku seketika terhenti dari layar laptop. Sejenak mengistirahatkan jemari yang sedari tadi asik menari di atas keyboard. Kubuka pintu dan kami pun saling melempar senyum sebelum ia memulai percakapan. Kupikir ia mau menceritkan pengalaman i'tikaf di beberapa ramadan terakhirnya, ternyata lebih dari itu. Ada hal khusus yang ingin ia sampaikan kepadaku, adik bungsu yang katanya lumayan keras kepala dan cukup egois. 

Aku merekam sebaik mungkin kata-katanya kala itu. “Dek, mulai sekarang aku memutuskan takkan lagi membaca novel ataupun menulis hal-hal fiksi seperti dulu. Aku masih diam menyimak, penuh tanya “ada apa dengannya?” ini semacam pengunduran dirinya sebagai kakak yang slalu kompak membicarakan perihal hobi kami: tentang menulis ataupun membaca. Aku menarik kesimpulan diantara berbagai spekulasi yang muncul di benakku. 

“Aku sudah merenungi lama tentang tentang pilihan ini. Dari yang kupelajari belakangan, mungkin memang ego adalah benteng yang slalu kubuat tuk membenarkan apa yang sejatinya mulai kuyakini. Bahwa seseorang, semakin ia belajar lebih dalam-tentang syariat-Nya, semakin pula ia akan kembali berbenah, mempertanyakan kembali sgala hal yang ada dalam diri ataupun sekitarnya. Sudahkah ia berlandaskan ilmu syar'i? Sesuaikah ia dengan ketentuan-Nya? Seluruskah dengan para pemahama para ulama terdahulu? etc.. (kurang lebih demikian yang kutangkap dari perkataannya).

Diam-diam aku takjub bercampur iri. Sebelumnya ia memang sempat mengatakan beberapa hal tentang ini. Namun aku tak begitu peduli. Dalam hati masih yakin “Apa ia sanggup? Bukankah kita sama? Amat gemar membaca karya tere liye. Slalu penuh semangat mendiskusikan karya-karyanya. Ahh, hati memang amat rentan berubah. Tentu oleh sang Maha membolak-balikkan hati manusia. 

“Aku ingin belajar tafsir saja" ujarnya pelan dengan penuh keyakinan. “ahh... pantas saja ia merelakan uang tak sedikit tuk membeli 10 jilid tafsir Ibnu katsir beberapa waktu lalu” batinku masih tak bersuara menanggapi ucapannya. 

Hmm... Senang, haru, dan perasaan-perasaan yang entah bersamaan membuntutiku. Dan percakapan selanjutnya kian seru. Darinya lagi-lagi aku belajar banyak hal pagi itu. Seorang kakak yang slalu menjadi panasea untukku. Ia yang diam-diam kukagumi sebagai sosok perempuan sabar yang slalu mendengarkan keluh kesahku, pemberi nasihat yang bijak dan tentu saja seseorang yang kebaikan-kebaikannya slalu ingin kucontoh, terlepas dari berbagai kekurangannya.

Kak, semoga slalu istiqamah di jalan kebaikan pilihanmu.