Monday 4 September 2017

Merangkum Agustus Dalam Kata


Agustus; Bulan kelahiranku juga bulan kemerdekaan negaraku. Cukup banyak hal yang berubah selepas kutanggalkannya usia 20. Di sepuluh pertama ada senyum penuh kemenangan, aku merasa sedang berada di titik betul-betul mencicipi musim semi. Memang Agustus kali ini kuakaui lebih berkesan dibanding Agustus yang lalu. Lalu ada pula 18 agustus yang kurayakan dengan menuntaskan tantangan 21, hingga pada acara PKM berhujung kolab yang tertunda. Dan jangan lupakan sebuah kebohongan dengan sepasang kecewa yang memilukan.

Pertama yang mengesankan adalah tentang dua hari dua malam penuh perjuangan menyusun laporan penelitian di penghujung 10 pertama agustus. Pengalaman luar biasa mengejar deadline yang sungguh-sungguh menjadi pengalaman tak terlupakan. Bersama dua orang teman sekelompokku kuhabiskan dua hari super melelahkan karena laporan yang membuat kami lupa bagaimana rasanya tertidur nyenyak atau sekedar duduk-duduk santai menyantap sarapan. 

Sempurna dua hari yang super genting. Kami mengunjungi salah satu warkop hingga berjam-jam lalu pulang agak larut malam demi internet yang memadai. Adapula adegan lari-larian menuju lantai lima-mengejar dosen pembimbing-hingga tembus pagi hanya berkutat di hadapan laptop dengan melahap puluhan jurnal sembari memeras otak demi rampung tugas tepat waktu. Dan semua perjuangan itu terbayarkan selepas mendapat tanda tangan di halaman pengesahan. Satu karya yang luar biasa berhasil kami selesaikan. Alhamdulillah. “Dan sungguh bersama kesulitan ada kemudahan.” Aku kian menyakini ayat  ini.

Dan kedua yang tak terlupakan adalah 18 agustus melawan badai. Bukan badai sungguhan, hanya saja badai hujan deras seharian itu. Tepat di saat usiaku kembali ganjil setelah genap 20 tahun. Hari itu kuhabiskan dengan menuntaskan 21st Challenges dimana aku melakukan 21 tantangan mulai dari yang agak mudah hingga yang paling sukar. 21 tantangan yang pada akhirnya membuatku tersadar jika sehebat apa pun manusia merancang harapan dan mimpinya, jika Tuhan tak menghendaki maka takkan pernah menjadi kenyataan sesuai yang disemogakan. 

Ya, seperti itulah saat pukul 12 malam batas challenge itu namun nyatanya aku tertidur sebelum pukul 10. Aku kelelahan selepas perjalanan dari Makassar-maros sendirian di tengah hujan yang menderas. Aku bahkan nyaris menyerah tuk tantangan pertama: membeli buku baru sebab hujan yang hingga magrib belum juga mereda sementara aku separuh kuyup dan masih dalam perjalanan. Mungkin karena tekad, akhirnya kupaksakan diri tuk singgah di salah satu gramedia kota ini. Dan yang tak kusangka-sangka adalah pertolongan dari seorang yang tak kukenal. Ia tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangku sembari memegang payung yang ukurannya tak seberapa itu, lalu dengan menyunggingkan seulas senyum ia menawarkanku tuk ikut bersamanya menerobos hujan. 

Kala itu aku sungguh-sungguh takjub dengan rencana-Nya. Bukan kah memudahkan urusan orang lain, maka Tuhan pasti akan memudahkan kesulitan kita? Kurasa ini yang sedang terjadi. Salah satu dari tantanganku hari itu: menolong seseorang-dan saat belum kutunaikan pun-masih hanya niat dan tetiba saja aku merasa Tuhan lagi-lagi berkonspirasi dengan semesta berkedok perempuan ramah mengenakan pakaian yang bisa dibilang amat jauh berbeda denganku. 

Terlepas dari semua itu, kami hanya pemeran yang mengikut skenarioNya; jalan beriringan di bawah payung yang sama dengan perbedaan yang amat kontras; aku dengan gamis panjang sedikit menyentuh jalan sedang dia hanya berbalut kaos santai berlengan panjang dipadu jeans hitam dengan rambut sebahu yang dibiarkan terurai. Aroma parfumnya pun masih bisa kuingat dengan jelas. Malam itu luar biasa, aku gagal di tantangan menemui teman lama dan menulis di blog dengan tema mama (yang ini sebenarnya sudah separuh jadi cuman belum sempat rampung karena aku malah ketiduran).

Ketiga, dua moment paling langka-sepanjang hidupku; Tentang PKM (Pesta Komunitas Makassar) dan marah level mie pedas paling Maha pedas. Dua hari dua malam acara pesta komunitas yang berlokasi di Rotterdam menjadi hal langka untukku. Kenapa kusebut langka sebab untuk pertama kalinya perempuan yang sedari kecil tunduk di bawah peraturan mama; tidak boleh keluar saat malam hari kecuali betul-betul mendesak-malah berada di acara maha akbar dua malam itu. 

Sebenarnya ada rasa berdosa yang mengganjal dua malam itu disebabkan aku pulang ke rumah hampir pukul 10, dan kakak pun tak tahu jika dua hari itu malamku habis di sana. Aku termasuk tipe malas ngomong kalo mau ke mana dan karena sudah ada kepercayaan kakak, ia seolah tak peduli lagi aku akan ke mana asal tak lupa berkabar walau hanya via WhatsApp. Bagaimana pun aku masih adik kandung bungsunya sekaligus titipan mama selama kuliah. Overall aku menarik kesimpulan bahwa tiap kejadian, terlihat receh/kecil bagaimana pun tetap saja menyuguhkan sebuah makna yang mungkin harus ditemukan, sebab kadang pelajaran berharga malah terselip di antara hal-hal yang sering kita lewatkan.

And then, marah sangat marah; kejadian langka. Aku yang katanya selalu dingin dan terkesan tak pernah ingin membesarkan sebuah masalah malah berubah drastis menjadi sosok yang orang-orang di sekitarku malah bertanya-tanya: What’s wrong with you Raa? Hmm… Sepenuhnya salahku. 

Singkat kata masalahnya kepercayaanku kepada seseorang yang diam-diam malah melakukan hal yang sungguh membuatku seketika menjadi seperti bukan aku. Siang itu saat masalah tetiba memanas aku hilang kendali. Kupenuhi seluruh linimasaku mulai bbm, wa hingga ke blog (tapi semuanya sudah dihapus) dengan tulisan-tulisan paling mengerikan yang pernah kucatat. Seriously, aku malah ilfeel sendiri sama kelakuanku yang childish dan norak banget. Kok bisa yaa, aku marah segila itu? Aku pun masih belum menemukan alasan paling tepatnya selain perasaan kecewaku bisa sangat berbahaya.

Malamnya kami berdamai. Syukurlah, aku tidak sampai di tahap bodoh paling receh memblok kontaknya seperti yang biasa kulakukan saat betul-betul marah atau kecewa dengan sesorang.  Ia sungguh-sungguh minta maaf. Katanya tak menyangka aku akan kecewa hingga marah luar biasa seperti itu. Ia bahkan mengatakan beberapa kalimat yang membuatku terharu: “Sekejam itukah diriku di matamu? But just forgive me and all of my mistakes. Tak akan timbul kecewa jika kita tidak berekspektasi tinggi terhadap sesuatu. Marahlah jika kau ingin marah. Tuangkan segala kekesalanmu. Aku mungkin bersalah tapi setidaknya jangan ubah keceriaanmu dengan tulisan seperti itu. Inisial IDM. (Dia salah satu perempuan senior paling kece yang kukenal selama mahasiswa). Letak kesalahanku mungkin di bagian: lupa jika tiap orang selalu saja berpotensi tuk melakukan sebuah kekhilafan.

Lalu yang ke-empat. Hal yang hmm… Aku sungguh-sungguh amat menyesal hingga rasanya sangat sulit tuk memaafkan diriku sendiri. Sebut saja kebohongan bulan Agustus. Sebenarnya tak ingin kutulisakan di sini, tapi biarlah kuabadikan di sela tulisan panjang ini, sebagai kesalahan juga pelajaran berharga yang tak boleh berulang. Cukup sekali aku mengucap kalimat dusta itu. Sebenarnya aku tiada niat tuk berbohong, di kepalaku masih tertanam kata-kata mahaguru “sekali kau melakukan hal tidak baik maka setelahnya kau akan berpeluang tuk mengulanginya lagi dan lagi.” , maka sebisa mungkin aku menghindarinya. Dan bukankah kejujuran akan slalu lebih baik skalipun itu menyaakitkan? Entahlah, yang jelas kala itu aku justru membenarkan sebuah kebohongan karena ego.

Katakanlah itu kesalahan terbesarku sepanjang tahun 2017. Sebuah kebohongan yang aku pun tak pernah menginginkan apalagi merencanakanya. Salah satu kenyataan yang serta merta ditolak nurani, namun kalah oleh sisi iblis diriku. Bagian paling menyakitkannya adalah; seseorang malah melontarkan satu kata yang amat kubenci; kecewa disandingkan ketidakjujuran. 

Mungkin aku terlalu berlebihan tapi begitulah faktanya aku tak bisa manafikkan jika malam hingga pagi waktu itu lebih meresahkan dibanding menunggu nilai semester keluar atau pun kekhawatiran akan KKP (Kuliah Kerja Profesi) yang menunggu di semester tujuh. Setelah itu aku bertekad takkan mengulanginya lagi, karena kutahu persis bahwa kebohongan adalah kesalahan yang harus dihindari dalam lingkaran hubungan sosial kita selaku makhluk individu yang memiliki egonya masing-masing.

Selanjutnya kelima, juga potongan terakhir skaligus bagian paling manis di penghujung agustus tahun ini. Sebuah kolaborasi dengan penulis yang sedang bermukim di bawah langit kota hujan. Awalnya aku hanya pembaca setia tumblrnya lalu kemudian memilih mengoleksi buah karyanya hingga merasa jatuh cinta dengan tiap rajutan aksara dalam kumpulan prosa “Lampion Senja” bukunya.

Sungguh maha baik Semesta merancang sebuah penutup untuk bulan kelahiranku dengan menghadirkan pengalaman baru berupa kesempatan merangkai aksara bersama seorang penulis yang luar biasa humble nan low profile level jarang (read; belum pernah mengenal penulis seperti beliau soalnya). Aku gak nyangka juga bisa ketemu tipe penulis yang rela meluangkan waktu berharganya tuk meladeni pembaca crewet macam aku. 

Berawal dari mereview bukunya juni lalu, kemudian sempat bertukar kata via IG, hingga akhirnya berujung di kolaborasi sebuah prosa. Sejujurnya aku rada minder dengan tulisanku yang akan digabungkan dengan tulisannya. Namun entah kenapa aku malah nekad ngajakin kolab-padahal teman-teman kolab di tumblrnya hampir seluruhnya adalah penulis tumblr expert yang sudah berpengalaman dibanding aku yang notabenenya masih pemula bermodal semangat dan super pede ini, wkwkw..

Sebenarnya kolab ini dijadwalkan sehari selepas ultahku tapi lagi-lagi Tuhan ingin menampakkan keMaha romantisannya dengan menyela kolab kami oleh sebuah peristiwa yang ujung-ujungnya menjadi tema dari prosa kami. Singkatnya malam itu aku tertidur selepas mengikuti acara PKM. Kelelahan membuat mataku tunduk di hadapan kantuk hingga hape dalam genggaman yang masih berada dalam ruang chat line malah ikut jatuh serempak dengan kesadaranku yang sukses dicuri lelap sebelum mampu menunaikan salah satu prioritas harianku.

Parahnya saat terbangun hapeku mati karena kehabisan daya bersamaan dengan sms yang menginfokan jika kuotaku habis. Luar biasa, pagi itu aku tertawa miris sembari membujuk diri agar berdamai dengan harapan. “Mungkin belum saatnya, karena tak semua ekspektasiku bisa terwujud sesuai doaku” batinku pasrah. Dan setelah hari itu, kala kuota kembali menyambungkanku dengan lintas maya, aku hanya bisa memanen sesal juga merutuk diri saat membuka tumblr. Di sana ada inbox tentang kolab-yang langsung kubalas dengan memohon maaf. Aku baru ingat jika notifikasi lineku tidak aktif (unsur kesengajaan sebab notif line slalu paling bising setelah whatsapp dan bbm). Ahhh… wajar saja tak ada pesan masuk, dan bodohnya aku yang sempat berprasangka tidak baik.

Terlepas dari nyaris gagalnya kolab agustus, aku sangat bersyukur bisa melewati penghujung bulan delapan dengan hal berarti alias kolab midnight (maklum, aku-dia sepertinya sama-sama sering begadang setelah kompak menyukai hujan, sok menyamakan gitu, hehe). Setidaknya, malam lebaranku tak sepenuhnya habis di dapur-tempat tidur apalagi. 

Finally kolaborasi kami berhasil dengan mengangkat tema based on true story alias kecewa yang tadi kutuliskan di atas. Selepas kolab aku menyadari jika seorang penulis ternyata memiliki tingkat kepekaan di atas rata-rata seseorang yang bukan penulis. Hmm.. Kurasa demikian sebab kolab kami rasanya seolah nonfiksinya hidup banget atau mungkin hanya aku yang merasa demikian sebab menulis langsung kenyataanku sendiri-meski tak betul-betul sama persis, wkwk..

Thanks a lot kak Ariqy Raihan yang namanya sudah kutempel di salah satu kertas mimpiku-disandingkan dengan Haruki Murakami juga bung Fiersa dan sederet penulis idola lainnya, membuat kak kiu malah ber wkwkw-yang entah titik lucunya dimana. To all my readers, yang senang membaca tulisan baper, silakan berkunjung ke rumah maya kak Ariqy, ada di Storial juga (Klik di sini) alamat tumblrnya. Bagiku, di sana adalah persinggahan yang nyaman tuk menemukan inspirasi dengan menyelami kedalaman aksara hujannya.  

Karena sudah terlalu panjang maka kuakhiri tulisan ini dengan kalimat yang slalu menjadi bahan kontemplasi tiap kali sesuatu terjadi di luar jalur harapanku. “Setiap takdir  yang ditulis Tuhan adalah ujian tuk manusia agar slalu meyakini sisi kehidupan yang kadang bertabrakan dengan angan atau impian. “Bahwa mau se-menyedihkan-bahagia bagaiman pun, tetap saja harus kita imani sebagai rukun iman terakhir selaku hambaNya. Dia Maha tahu sedang kita makhluk yang penuh dengan ketidaktahuan dalam menyikapi keputusanNya.” Raa

“Boleh jadi kau menyenangi sesuatu tapi itu tidak baik bagimu, demikian sebaliknya.” (ini bukan perkataan bijak dariku, tapi ini kebenaranyang terkandung dalam kumpulan firman-Nya)


--Makassar 04 september 2017