Wednesday 13 September 2017

September, Tentang (J)atuh dan Episode yang Memilukan

September dan sebuah rasa yang tak lagi mampu kubahasakan dengan sederhana. Sebab logika yang lagi-lagi enggan berperan-atau mungkin aku yang terlampau sulit memberinya ruang walau sekedar tuk memikirkan sebab-akibat paling buruknya. Aku terlanjur kacau-nyaris tak tahu harus bagaimana-sembari merutuk diri dengan sebuah tanya
“Mengapa terlalu mudah larut dalam pesonamu?” Mengapa namamu slalu saja menggema di keheningan atau pun riuhnya kepalaku? Mengapa tak pernah mudah jika itu tentang mengambil langkah-menjauhimu? 
Mengapa dan mengapa yang lain terus saja menyesaki benakku. Aku seolah lumpuh di hadapan “sesuatu” yang aku pun entah harus menyebutnya apa. Apakah memang aku tengah terjebak dengan hal semacam “suka, kagum atau cinta (yang katanya menempati kasta tertinggi perasaan) ? Batinku sibuk mencari jawaban.
Aku tak tahu. Perihal rasa mengapa harus namamu yang menjadi tuannya. Aku tak paham di bagian mana yang membuatku jatuh. Ketahuilah, aku bukan perempuan yang mudah memiliki perasaan kepada seseorang-namun sepertinya argument ini patah sejak aku-kamu kian mengakrabi kebersamaan. Oleh nyaman yang kita cicipi di tiap temu yang terlalu sering. Ah, tiba-tiba aku setuju dengan kalimat “rasa bisa hadir karena terbiasa”-yaa, aku mulai terbiasa akan sgala hal tentangmu-memenuhi hari-hariku. Senyum tawa serta berjuta detik kala bersamamu-pelan-pelan mengundang hal yang sungguh-aku pun tak pernah mengharapkannya.

Sebut saja jika aku memang sedang (j)atuh. Jatuh di wilayah perasaan yang mengandung namamu. Perlahan harapan tumbuh tanpa sedikit pun mampu kucegah. Aku frustasi. Memikirkanmu seolah rutinitasku. Mengulang kenangan tentangmu seperti nostalgia favoritku-dan entah mengapa rindu mulai bermain. Serta merta membuat banyak spekulasi tercipta dalam pikiran yang kalut. Aku tak ingin seperti ini. Sungguh… Aku tak tahu lagi-harus bagaimana menarik diri dari duniamu.

Kata seorang temanku, tempatku menitip rahasia juga (mungkin) aib ini, : Kau harus tegas dengan perasaanmu sendiri. Jangan berlarut dalam angan atau pun harap yang tidak pada tempatnya. Hindari ia sebisa mungkin. Kita memang tak bisa memilih akan jatuh di mana, tapi tentang perasaan, percayalah, perempuan slalu bisa mengendalikannya-jika ia memang ingin. Tentu bukan hal yang mudah sebab kita tercipta tuk lebih mengedepankan prasaan dibanding logika. 

Maka yang harus kau lakukan: menguatkan diri sebab hanya kau yang bisa membebaskan dirimu sendiri dari perasaan-perasaan sesak, resah atau pun gelisah yang tak terdefinisi itu. Jika kau bertekad sungguh-sungguh, aku yakin kau akan mampu melewatinya. Meredakakan gejolak di hati bukan perkara mudah-tapi tak berarti betul-betul sulit. 

Kuncinya hanya ada dalam dirimu sendiri. Kau harus mampu mengendalikan diri, mencoba pelan-pelan mengurai rasa yang terlihat rumit itu. Sederhanakanlah. Kau bisa mencoba caraku-tak mudah memag tapi mau bagaimanalagi? Relakah kau dihabisi perasaanmu sendiri? Tentang waktu yang terbuang dalam kalut dan perasaan gamang. Sadarlah, hatimu sedang tidak baik-baik saja. Dosa perasaan seperti noda yang kian hari melebar seiring banyaknya detik yang masih saja sibuk akan dia-yang tak ada jaminan jika kau adalah masa depannya. 

Maka tegaslah! Kau harus lebih bijak menyikapi rasa. Bagiku tak ada yang paling ampuh tuk mereduksi rasa selain dengan pergi, menjauh dan mencipta sekat bernama jarak. Ini solusi sekaligus pilihan yang sulit. Tapi percayalah, seiring waktu kau akan paham jika hari-harimu akan tetap berjalan normal sekalipun ia tak terlibat dalam garis takdirmu. Bukankah sebelum mengenalnya hidupmu baik-baik saja? Maka coba kembali di kondisi itu. Jangan memperbudak diri dengan perasaan yang sejatinya fitrah namun kau mencemarinya dengan sikap yang kurang tepat. 

Jika memang kau masih harus bersinggungan dengan dunianya-kau tetap membutuhkan beberapa kebaikannya-maka tak ada cara paling tepat selain segera merubah cara bersikapmu. Jangan biarkan kalian terjebak di zona baper-sebab kau tahu kan begitu tidak nyamannya di posisi dilema? Dan kau tentu belum siap tuk melangkah di setepat-tepan jalan bagi siapa saja yang jatuh cinta. Kau masih harus menyelesaikan studimu sebelum ke tahap itu, fokuslah. Berbenah sekarang juga. Jauhi titik luka. Sibukkan dirimu dalam kebaikan. Dekatkan diri dengan yang Maha Membolakbalikkan hati manusia. Dan yakinlah, cinta sejati akan slalu menemukan jalannya. 

Kalimat terakhir tentang cinta sejati itu bukan kalimatku, hanya kata-kata dari penulis favoriku sekaligus tameng yang kuanggap sebagai bagian dari prinsipku. Jadi, semua kembali kepadamu. Aku hanya mampu sedikit berkata-kata seolah semuanya terlihat mudah. Maafkan jika aku seolah menyepelekan masalah ini dengan kalimat “galau tidak syar’i atau sakit hati receh” tapi-percayalah, aku pun masih tengah menata hatiku. Mari sama-sama berjuang, saling mengingatkan dan mendukung dalam kebaikan tentunya.

Lalu aku pun mencoba meresapi kata-katanya dengan melayangkan banyak semoga kepada semesta “kuatkan hatiku, jangan biarkan hambamu menjadi hina karena titipan rasa yang kusikapi dengan salah. Semoga episode memilukan ini segera berlalu. 

||  13/09/2017

*(Tulisan ini bercerita dari sudut pandang “aku” yang sebenarnya bukan aku. Hanya mencoba mewakili seorang teman yang beberapa waktu lalu membagi keresahannya. Semoga setelah ini ia lebih bijak lagi.