Thursday 7 April 2022

Sampai Kematian Menyudahi

Kemarin saya tidak sempat update tulisan, padahal sebenarnya sudah ada draf sejak sebelum tidur. Karena memang "Diary Ramadan" ini sejak awal memang dijadwalkan akan rilis setiap habis isya, ketika target tilawah terpenuhi. Masalahnya, kemarin saya tidur pukul sebelas lewat, bangun 02:00 lantas tidak sempat kailulah (tidur qabla zuhur sekitar sejam) karena saya harus ke perpus dan pulangnya sore. Waktu mepet hanya untuk mandi dan menyiapkan menu berbuka. Habis magrib masih berjuang mengejar target hingga lepas isya: langsung mendarat di kasur (berhubung mata sudah memberontak minta lelap). Makan malam pun terlewat karena tidur tentu lebih mendesak. Saya terbangun dua kali dan menyadari .... saya belum sempat menulis menulis Diary Ramadan. Utang satu hari. (Sekian edisi curcol tidak penting tapi cukup melegakan untuk saya)

Lalu mari kembali pada judul tulisan ini. Tentang kematian yang lagi-lagi menyentak kesadaran saya. Kabar duka yang membuat saya tertegun lama sebelum akhirnya jatuh tertidur.

Malam sebelumnya saya tidak tidur sesuai jadwal karena usai membaca kabar duka dari grup teman SD. Ibu salah seorang teman kami berpulang. Saya yang sudah siap tidur tiba-tiba dirayapi perasaan aneh. Entah sejak kapan tepatnya, kabar meninggalnya seseorang selalu saja meluluhkan perasaan saya, membuat diam tergugu, menangis kadang-kadang, hingga sulit terlelap. 

Dalam gelapnya kamar, nyaris saja saya berteriak karena seperti ada yang mencabik-cabik hati. Pedih. Sebab pengalaman kehilangan selalu tidak mudah, terlebih jika ia masih kembali dalam wujud kenangan yang mengalirkan air mata. 

Kejadiannya sudah berlalu belasan tahun, tapi sedihnya ternyata bisa tinggal lebih lama dari perkiraan. 

Seperti ada yang menyalakan alarm alami dalam kepala saya. Dan semua semakin diperparah dengan ingatan panjang tentang kehilangan-kehilangan lalu. Termasuk kehilangan yang  akan membuat patah hati siapa pun: kematian anggota keluarga.

Bapak pergi dan tidak pernah kembali tepat di tiga Ramadan, dengan sakit yang sama persis dengan orangtua teman saya. Saya memang masih SD waktu itu, tapi ingatan saya tersimpan baik di balik memori kolektif. Bahkan pada setiap detail kecil hari itu. Saya tidak akan lupa bagaimana rasanya ditinggal pergi, meski butuh betahun-tahun kemudian tuk mampu memahami dengan utuh tentang kepergian dan bagaimana jalan menemukan ikhlas dari hari-hari muram yang merobohkan ketegaran.

Banyak hal yang saya garis bawahi selepas kepergian bapak. Sebanyak pengertian yang akhirnya saya peroleh dari ketidakberdayaan tanpa kekuatan dari-Nya, tentang bagaimana saya tetap harus melanjutkan hidup dengan sebaik-baiknya dan menjaga keyakinan. Bahwa tugas saya selain sebagai hamba adalah menjadi salah satu dari tiga perpanjangan pahala manusia sehabis masa tugas di bumi-Nya. Sebab orangtua yang telah pergi tidak butuh lagi apa pun selain doa. Doa-doa terbaik yang semoga mampu melapangkan tempatnya, meringankan bebannya dan tentunya membuatnya menikmati apa yang sudah ditanam semasa hidup. Bagaimanapun, anak adalah tanggungjawab sekaligus perpanjangan pahala, tentu jika orangtua betul-betul berhasil mendidiknya seperti kriteria yang disebutkan dalam hadis.

Karena pada akhirnya, manusia akan pulang pada keabadian. Misi besar kita singgah di dunia memang untuk menyiapkan bekal dengan sebaik-baiknya. Sampai kematian menyudahi usia.

Penyesalan tentu bukan hal yang ingin kita temui kelak, di hari penghakiman yang sesungguhnya.

-Hari keempat-