Monday 4 April 2022

Sekolah Pertama

Disclaimer: Tulisan ini ke-trigger setelah membaca salah satu cuitan di Twitter, kenapa seorang ibu lebih memilih menyekolahkan anaknya di swasta dibanding negeri. (bisa dibaca di sini). Tulisan ini tidak terstruktur, dan mungkin akan melompat-lompat. Maklum, saya hanya sekadar berusaha menuangkan apa yang melintas di pikiran saya tanpa sempat berpikir soal keefektifan kalimat sebagaimana sebaiknya sebuah tulisan disusun.

Tulisan ini sebenarnya lebih ke curhatan berdasar pengalaman dan pengamatan pribadi yang tentu bersifat subjektif. Dan lagi, saya menulis ini karena saya sepenuhnya sepakat bahwa pendidikan seorang anak dimulai dari rumah. Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya, maka seorang ibu seharusnya memiliki ilmu parenting yang mumpuni sebelum memutuskan menjadi seorang ibu. Jelas, peran ibu bukanlah tanggungjawab yang ringan. Konsekuensi menjadi orang tua adalah tantangan besar, khususnya ibu. Ibu, yang bahkan disebut tiga kali dalam sebuah hadis sebelum ayah dalam hal bakti.

Sebagai seseorang yang lahir dari ibu yang  meskipun tak mencicipi pendidikan hingga ke perguruan tinggi, (tapi tetap berdedikasi penuh mendidik anaknya) saya merasa harus menyampaikan isi kepala saya selama ini, sebagai seorang anak atau mungkin calon ibu nanti.

Memang, tidak ada ibu yang sempurna, tapi kabar baiknya; ibu selalu berusaha memberi yang terbaik untuk anak-anaknya, (dari aspek pendidikan salah satunya). Bukan kebetulan jika saya anak bungsu yang mau tidak mau akan selalu melihat ke kakak-kakaknya. Secara tidak langsung dan tanpa saya sadari, saya cukup memerhatikan pola-pola parenting dari kakak perempuan saya ataupun kakak ipar (fyi, semua kakak saya sudah menikah dan menjadi orang tua). Anggap saja saya menulis ini semacam hasil 'membaca' saya terhadap sekitar, karena saya jelas tidak punya pengalaman apa pun sebagai ibu/orangtua.

Pertama, tantang menyadari peran. Jauh sebelum menjadi sekolah bagi buah hati, seorang ibu mesti mempersiapkan diri. Bukan hanya soal mental, tapi juga ilmu. Memang, ada istilah "belajar sambil jalan" dan ini tidak sepenuhnya keliru. Namun, jika bisa mempersiapkannya dengan lebih matang, why not? Praktik tentu tidak seringan tulisan ini, tapi sekali lagi saya pertegas "persiapan adalah kunci", dalam hal apa saja. Sebuah tujuan takkan tertempuh tanpa sebuah kesiapan. Analogi sederhananya, kita mungkin takkan selamat jika nekad mendaki gunung tanpa persiapan; bekal, strategi, tubuh yang fit, hingga pemandu perjalanan jika baru pertama kali. 

Demikian dengan seorang ibu. Sebagai sosok yang akan mengajarkan banyak hal untuk yang pertama kali kepada anaknya, ia haruslah memiliki kesiapan ilmu; sebagai sekolah yang seharusnya mencerdaskan murid, tentu mesti memiliki fasilitas yang layak. Mungkin seperti 1001 cara mengahadapi buah hati; ketulusan, kesabaran, cinta dst. Seluruhnya harus ada tuk mencapai sebuah tujuan.

Saya sepakat dengan statement "jika kau malas belajar, ingatlah bawah anakmu layak dilahirkan dari ibu yang pintar" yah, paling tidak punya kesadaran dasar seorang ibu. Namun, sekali lagi: jadi ibu itu tidak gampang! 

Kedua, cara mendidik yang baik salah satunya adalah dengan menjadi teladan. Karena anak tentu akan menyerap apa yang dilihat ataupun didengar dan akan tersimpan otomatis dalam memorinya. Maka sebagai ibu, seorang perempuan juga harus memberi contoh yang baik. Seperti, jika ingin anak tertarik dengan buku, tunjukkanlah sesering mungkin kebiasaan membaca. 

Saya termasuk beruntung memiliki ibu yang bisa dibilang sangat baik dalam hal menjadi role model. Saya terbiasa dengan sederet hal-hal baik yang sejak kecil diperlihatkan mama. Sosok perempuan dengan sejuta kebaikan yang ingin kucontoh. Mama yang mengajari kejujuran, sopan santun, menghormati tamu, menjaga kebersihan, jangan marah, jangan menunda, selalu tepat waktu, hingga membacalah sebanyak-banyaknya buku. Singkatnya, saya mempelajari banyak sekali hal yang tak mungkin saya dapat di bangku sekolah. Meski tidak sempurna, tapi didikan mama sangat mempengaruhi karakter saya,  terlepas dari lingkungan saya 10 tahun terakhir.

Terakhir, (karena tulisan ini semakin panjang) betul, kita tidak punya hak tuk memilih akan terlahir dari ibu yang seperti apa, tapi kita sepenuhnya bisa memutuskan, akan menjadi ibu bagaimana kita nanti. Sebenarnya, ini redaksi lain dari kalimat: kita tidak bisa memilih keluarga kita tapi kita selalu bisa memilih pasangan hidup, teman dalam membangun sebuah keluarga tentu saja.

-Hari kedua-