Thursday 17 March 2016

Suatu Sore di 2016 (Part 2, The End)


(Part sebelumnya baca Disini

Sesampai di rumah, Afraa menemukan ibunya tengah asyik membaca di  sofa ruang keluarga. Dipangkuannya, terlihat si bungsu yang masih TK sedang terlelap sambil memeluk boneka panda yang kemarin dibelikan ayah. Afraa hanya berlalu sambil melemparkan seulas senyum saat ibu menoleh ke arahnya. Sepertinya ibu baru menyadari bahwa putri kesayangannya sudah pulang. Diikuti tatapan heran ibunya, Afraa menuju kamar yang terletak di lantai dua. Ia sedang tidak mood untuk berbasa-basi seperti yang biasa ia lakukan sepulang kampus.

Di kamar yang bercat pink-ungu dengan motif volkadot, Afraa segera merebahkan tubuhnya ke kasur, lalu kemudian mulai memejamkan mata. Ia merasa sangat lelah dan hanya ingin terlelap. Setelah setengah jam lebih berbaring dengan mata tertutup, ternyata ia belum juga bisa tertidur. Entah kenapa, sulit sekali untuk berhenti memikirkan isi surat yang mengundang air mata berulang kali. Dan sekali lagi, Afraa flashback ke suatu sore, setelah membaca surat dari seseorang yang sangat ia cintai.
                                                                              
Sore itu selepas jam kuliah, Ulfa menyerahkan sebuah amplop pink kepadanya. “Isinya surat, tapi sebaiknya jangan dibaca sekarang.” demikian kata Ulfa. Dengan wajah bingung Afraa menerimanya. Ia tidak sempat bertanya lebih lanjut karena Ulfa segera melangkah pergi, dengan alasan ada urusan mendadak. Karena penasaran ia lalu membuka amplop tersebut. Isinya sebuah surat seperti yang dikatakan Ulfa. ia mulai membaca baris demi baris tulisan tangan yang sudah tidak asing lagi baginya.

Dear Afraa…

Pertama, aku minta maaf untuk surat ini. Aku tahu, kamu akan menangis setelah membacanya. Kau tahu? Aku pun menangis saat menulis tiap kata di atas kertas ini. Menulis surat ini membuatku seolah menikam hatiku sendiri. Rasanya sangat sakit. Aku tak tahu harus bagaimana mengatakan kejujuran yang amat menyakitkan ini. karena itulah aku memilih menyampaikannya lewat surat ini. Aku tak sanggup jika harus mengatakankannya secara langsung karena menulisnya saja sudah seperih ini.

Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, bahwa aku mencintaimu dan aku hanya ingin menggenap bersamamu. Berdua denganmu, aku ingin melewati hari-hari indah dimasa depan. Di sketsa mimpiku ada dirimu, dalam tulisan-tulisanku selalu kuselipkan namamu. Sejatinya, mencintaimu sama saja menunggu, apakah kelak harapan yang selalu kujaga akan bersua dengan kenyataan atau mungkin malah sebaliknya. 

Dan ternyata, asaku tak sesuai kenyataan. Cintaku tidak bisa kuperjuangkan lagi. Aku tidak bisa apa-apa selain menerima kecewa juga  rasa sakit yang tak lain adalah resiko paling berat dari mencintaimu.

Maaf, aku terpaksa berbohong soal kepergianku ke Amerika untuk melanjutkan kuliah. Karena sebenarnya, aku berada disini tidak lain adalah karena kedua orang tuamu. Mereka memintaku untuk menjauhimu karena keduanya tahu, aku bukan laki-laki yang tepat untuk mendampingi putrinya. Jangan marah kepada mereka, karena dari awal ini salahku.  Aku mencintaimu tapi aku tidak bisa meninggalkan Tuhanku juga keyakinanku. Kadang, perbedaan memang diciptakan untuk memisahkan hal-hal yang seharusnya bersatu.

Di kalimat terakhir, air matanya sudah tak terbendung lagi. Afraa mulai terisak. Ia merasa begitu sesak seolah ada beban berat menghimpit dada, membuatnya kesulitan bernapas. Lalu seketika, ia seolah tak mendengar apapun selain hening. Setiap suara dibisukan oleh kesedihan dalam hatinya.

#One Day One Post