Monday 21 March 2016

Di Pertigaan Lampu Merah

Tulisan kali ini bukan pengalaman paling berkesan di pertigaan lampu merah. Di pertigaan lampu merah, tidak lain hanya salah satu dari banyak hal yang ingin kutuliskan saat dalam perjalanan. Entah kenapa, setiap berada dalam perjalanan selalu saja ada hal yang kupikirkan. Terkadang, karena terlalu sibuk dengan pikiranku, aku malah tidak sadar jika sudah tiba di tujuan. 

Aku selalu memikirkan banyak hal lewat apa saja yang disuguhi jalan sepanjang mata memandang. Dan tak jarang apa yang kupikirkan akan menjadi buah ide untuk sebuah tulisan termasuk saat di suatu siang menuju kota kelahiranku. Sebuah perjalanan Maros—Makassar, tepatnya di pertigaan lampu merah, asal mula gagasan tentang tulisan kali ini. 

Saat itu lampu merah di pertigaan jalan membuat setiap kendaraan kompak berhenti, patuh pada salah satu rambu-rambu lalu lintas. Fokus mataku menangkap objek yang seketika membuatku tertegun beberapa saat. Seorang anak perempuan yang jika dilihat dari postur tubuhnya, ia kisaran enam-tujuh tahun. Dengan semangat ia menjajakan beberapa bungkus tissu  dari mobil ke mobil ataupun dari motor ke motor di sekitaran lampu merah. Debu jalan dan terik matahari siang tak dihiraukannya. Dengan raut wajah penuh harap, sesekali ia mengusap peluh yang bercucuran sambil terus menawarkan tissu dagangannya.

Menyaksikan adegan tersebut mengundang rasa iba yang menelusup tiba-tiba. Kasihan sekali melihat anak yang masih kecil tapi sudah harus mencari uang untuk menyambung hidup. “Ah, betapa tidak bersyukurnya aku yang mengeluhkan panasnya cuaca siang ini.” batiku. Padahal aku jelas-jelas hanya sebentar saja merasakan panas siang ini. Cukup hanya sepanjang jalan menuju tujuan, sementara bocah tadi harus merasakan sengatan matahari sepanjang siang demi menjual bungkus demi bungkus tissu. Tiba-tiba aku merasa malu pada diri sendiri.

Kadang, untuk bersyukur kita memang harus melihat ke bawah. Merenungkan kehidupan orang-orang yang untuk memperoleh makan pun sangat sulit. Mungkin ada begitu bnyak orang yang ingin berada di posisi kita saat ini sebab mereka tak seberuntung kita. 

“Fabiayyi alaa irabbikuma tukazziban?” Akupun  teringat ayat ini. Sebuah ayat yang berulang kali disebutkan dalam surah Ar-rahman, yang tidak lain agar kita selalu bersyukur.
 
Bahwa begitu pentingnya kita bersyukur atas tiap nikmat yang kita rasakan. Seketika aku tersadar, betapa sering aku mengeluh. Tentang tugas kuliah yang menumpuk, tentang ini dan itu juga banyak lagi hal remeh yang seringkali mengundang keluhan. Manusia memang diciptakan penuh keluh kesah namun, hati yang lapang dan selalu bersyukur akan menjadi penawar. Maka, sediakan selalu ruang dalam hati untuk selalu bersyukur juga bersabar dalam menyikapi setiap problem kehidupan. 

Bersyukurlah untuk tiap desahan nafas yang masih berhembus. Bersyukurlah atas nikmat penglihatan, pendengaran, juga hati yang masih bisa merasakan. Bersyukurlah untuk kaki yang masih sanggup berjalan, tangan yang bisa kita gerakkan dan setiap inci anggota tubuh yang masih menjalankan fungsinya dengan baik. 

"Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"

Berhenti Mengeluh dan Bersyukurlah!

--One Day One Post