Wednesday 17 August 2022

Day # 16 Tantangan Itu Biasa, Menyelesaikan Itu Istimewa

Satu hal atau keputusan paling menantang dalam hidupku, bagaimana aku menyelesaikannya, dan hikmah terbaik yang aku dapatkan karenanya.

April 2019. Seorang teman mengirimiku pesan berisi tawaran untuk ikut bersamanya menjadi seorang muhafizhah dalam program Karantina Tahfizh Nasional (KTN) selama sebulan. Awalnya ragu, apa aku sanggup? Terlebih karena saat itu adalah masa-masa di mana aku seharusnya fokus mengurus skripsi. Aku sempat dilema sebelum akhinya meminta izin kepada mama. Aku ingat betul, jawaban mama waktu itu yang akhirnya meyakinkanku untuk menerima tawaran tersebut. 

Kalo untuk kebaikan, kenapa tidak? Begitu jawaban mama yang berarti lampu hijau untukku. Sejujurnya, aku menganggap pilihan itu sebagai cara terbaik untuk sejenak menjeda diri dari urusan kampus yang terakhir kali betul-betul menguras emosi. Namun, siapa sangka, keputusanku waktu itu mengubah banyak hal kemudian.

Singkat cerita, dengan persiapan seadanya aku pun tiba di lokasi dan langsung menceburkan diri dalam rutinitas baru yang mengubah hari-hariku 180 derajat. Hanya meletakkan koper, berbicara sedikit terkait urusan teknis lalu tiba-tiba aku pun sudah berada di antara mereka, para peserta yang sudah dibagi per-khalaqah (kelompok). Setiap muhafizhah memegang satu khalaqah yang berisi enam hingga tujuh orang yang akan menyetorkan hafalannya. Aku yang masih pertama kali alias newbie betul-betul tertantang dengan ekosistem baru yang sungguh penuh ketidakpastian, tapi bismillah … aku siap menjalaninya. 

Satu pekan pertama adalah waktu yang sangat berat bagiku yang baru mulai beradaptasi. Banyak hal yang mengharuskanku sepenuhnya belajar dari nol dan tentu saja lebih banyak bersabar. Aku tak menyangka, tantangan-tantangan yang kuhadapi ternyata tidak semudah perkiraan. Sekali lagi, aku belajar beradaptasi dengan keras, mulai dari jam tidur yang terpangkas, ritme hidup yang serba cepat sesuai dengan jadwal harian, hingga interaksi antara peserta yang kadang harus dihadapi dengan kepala dingin. 

Seberat apa pun, toh semuanya kulalui juga akhirnya. Karena aku tidak sendiri, ada teman-teman seperjuangan, tempat berbagi cerita dan kadang keluhan di akhir hari—karena kami semua merasakan atmosfer perjuangan yang sama melelahkannya. Tak jarang kami hanya bisa tertawa di hadapan masalah yang penuh warna. Bahwa di balik suka duka, terselip humor yang bisa membuat rileks, seolah tanggungjawab yang kita pikul sama sekali tidak berat. Namun, tetap saja ada saat-saat ketika kami berharap waktu merangkak lebih cepat karena sudah tak sabar menyelesaikan tugas kami. Aku bahkan sempat memikirkan dan mempertanyakan kembali, apakah keputusanku sudah tepat? Karena pada kenyataannya aku masih sering menggerutu, seperti tidak ikhlas menjalani pilihanku sendiri. 

Tapi, setelah kusimak baik-baik, kusaksikan satu per satu mereka yang berhasil dan kurasakan berbagai emosi, ada suara dari kedalaman hati yang jernih, tentang seberapa berharga keputusan yang sudah kuambil. Sebuah kesempatan yang telah memberiku banyak sekali pelajaran, hikmah yang berserakan sepanjang perjalanannya. 

Aku tersadar justru di akhir-akhir waktu ketika kebersamaan kami semakin mendekati habis. Memang, sebuah pesan butuh waktu untuk sampai. Di momen perpisahan, aku menangis haru. Ada sesal, mengapa aku tidak menjalani pilihanku dengan lebih menikmati setiap prosesnya, dengan hati yang lebih lapang? Sebab momen berharga itu hanya sementara sebelum kami semua harus berpisah—entah apakah akan bertemu kembali. 

Ada kesedihan yang menusuk, tapi semuanya betul-betul bermakna. Aku belajar, menambang pengalaman dari orang-orang yang baru kutemui, cerita-cerita yang takkan kulupakan. Sebulan yang akan kukenang seumur hidupku. 

—Makassar, 8:33 pm