Tuesday 9 August 2022

Day #9 Ketakutan Terbesarku

Satu hal yang sangat aku takuti dan bagaimana aku bisa menghadapi ketakutan itu.

Salah satu topik yang menarik dalam self talk-ku belakangan; what your biggest fear? Dan jawaban yang kudapat beragam, terlalu banyak ketakutan dan kekhawatiran yang datang silih berganti. Hari ini aku mungkin memiliki satu ketakutan dan kegelisahan akan satu hal yang esoknya akan berubah, berganti ke hal lain. Namun, untuk tema kali ini, aku ingin menengok satu momen pada April lalu. 

Flashback ….

Satu malam di pertengahan Ramadan, saat-saat paling sunyi ketika waktu berjalan menuju pukul satu, aku sempat bertanya kepada diri sendiri “apa sih yang kau takutkan?” Tanya yang muncul begitu saja setelah menyadari satu fakta, bahwa ada saja hal-hal yang normal dan biasa menurutku tapi menjadi satu ketakutan bagi orang lain. Contoh paling real-nya ini, saat aku hanya sendirian, tengah malam, terduduk di tengah masjid yang separuh lampunya sudah padam dengan pintu-pintu dan jendela yang semuanya dari kaca transparan ditambah suasana sekitar yang begitu hening, sesekali terdengar lolongan anjing. Suasana malam yang terkesan horror membuat beberapa orang takut jadi menganggapku si pemberani. Padahal, aku biasa saja, sama sekali tidak merasa takut ataupun pemberani. 

Malam itu, dengan berani kuputuskan untuk menemukan ketakutanku. Ternyata ada ketakutan-ketakutan yang lebih penting yang harus diwaspadai daripada mencemaskan kenyataan di sekelilingku: pikiranku. Yah, kadang aku takut dengan isi kepalaku sendiri. Karena perasaan-perasaan selalu bermula dari sana, aku memikirkan dan menelaah banyak hal lalu lahir satu kekhawatiran yang kadang begitu sulit ditenangkan. Aku takut dengan pikiranku, terutama di jam-jam rawan seperti tengah malam insomnia yang seringkali mengundang pikiran buruk. 

Kembali ke pertnyaan awal, apa ketakutan terbesarku? Ada banyak jawaban (termasuk pikiranku tadi), tapi aku ingin menjawab dari sisi paling spiritual, sebagian dari diriku yang kadang begitu mencemaskan keimananku sendiri. Aku takut jika hari ini adalah hari terakhirku. Aku takut karena niatku seringkali tidak lurus dan ibadah yang kuupayakan tidak memenuhi kualifikasi untuk diterima—ini sama saja dengan amalan yang tertolak. Singkatnya, aku takut mati dalam kondisi bekal untuk akhiratku belum memadai, aku takut membayangkan hidup selepas di dunia. Sebab ada tanggungajawab panjang yang harus dihadapi.

Memikirkan ketakutan ini di saat-saat paling jernih meruntuhkan semua keangkuhanku di hadapan dunia dan segala ambisinya. Saat semua terlihat hanya bias-bias dunia yang fana, di situlah momentum yang menyentak sadar; perihal tujuan sejati penciptaan manusia, mengapa aku diciptakan dan kenapa pula aku harus takut. Aku tiba-tiba mengingat materi tentang ibadah, yang semestinya berlandaskan tiga hal; ada takut, cinta, dan harapan (correct me if I wrong). Jika kembali ke tiga hal ini, rasanya, semua akan kembali pada pemahaman yang utuh. Singkatnya, ada ketakutan bersama dengan solusi bagaimana menghadapinya.

Ketakutan terbesar semacam yang kumiliki sangat bisa dihadapi, dengan cinta dan pengharapan. Bahwa rasa takut tak boleh sampai membuat putus asa sebab Dia mahamencintai. Sebanyak apa pun dosa, ampunan-Nya selalu tersedia, tapi kita juga tidak boleh berharap pada-Nya hingga merasa aman, sepemahamanku—intinya menyeimbangkan keduanya. 

Akhirul qalam, tema kali ini cukup sulit untukku tapi aku mencoba tetap menuliskannya, sebagai pengingat untuk diri sendiri. Semoga saja tulisan ini tidak terkesan sok menggurui, apalagi tampak (meminjam istilah teman) sebagai sosok yang sangat beriman, atau terlalu ustazah … yah, karena imanku pun masih timbul tenggelam. 

—Makassar, 9 Agustus 2022