Tuesday 9 August 2022

Day #3 Sudah, Aku Memaafkanmu

Seseorang yang ingin aku maafkan, sebab menjadi sebaik-baik hamba-Nya berarti meninggalkan dendam dan permusuhan. 

Disclaimer: tulisan ini hanya residu dari perasaan yang pernah tinggal, yang kini sudah sepenuhnya tanggal. 

Dulu, aku menganggap pertemuanku dengannya sebagai hal istimewa—sesuatu yang tak pernah kusangka akan berakhir dengan penyesalan yang mengarati hati sekian lama. Ini bukan perihal dendam ataupun permusahan. Sebab aku tak sedikit pun menaruh dendam, apalagi ingin membangun permusuhan. Aku tak punya cukup energi untuk keduanya sebab yang kuperjuangkan sekian lama hanya ikhlas. 

Ikhlas yang dalam perjalanannya kadang begitu sukar. Selalu saja ada kenangan yang menyandung langkah hingga aku harus jatuh berkali-kali sebelum tiba di ruang penerimaan yang teramat lapang dan menenangkan. 

Bahwa terhadap kesalahan orang lain, kita tak boleh hanya berhenti di proses memaafkan karena setelahnya, kita pun harus menerima lalu mengambil sebuah pelajaran. Sebab pemahaman baik kadang memang begitu mahal harganya. Kita harus mendapatkannya lewat pengalaman-pengalaman tidak menyenangkan. Melalui seseorang yang pernah menggoreskan luka, misalnya. 

Tidak ada manusia yang tak pernah salah, pun demikian dengannya. Aku sadar jika ia yang pernah hadir tidak lebih dari tamu yang datang membawa pesan. Sebuah pesan singkat dari perkenalan yang tak bisa disebut singkat—bahwa memaafkan berarti menerima dengan ikhlas. 

Sebesar apa pun kesalahan itu di matamu, sebanyak apa pun tangis yang pernah mengalir karena pedihnya luka, tak peduli semarah dan sekecewa bagaimanapun dirimu kala itu. Toh, kau juga tak betul-betul bebas dari kekeliruan, bukan? Barangkali, tak jauh berbeda; kau pun pernah meninggalkan luka yang menganga dalam hidupnya.

—Makassar, 3 Agustus 2022